Pendahuluan
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada
tulang yang utuh.
Fraktur
tulang tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :
1.
Complete fracture ( fraktur lengkap ), patah pada seluruh garis tengah
tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2.
Closed fracture (fraktur simple ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas
kulit masih utuh.
3.
Open fracture ( fraktur terbuka / komplikata/ kompleks), merupakan fraktur
dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol
sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur
dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak),
arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami
penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang
berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi
fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah
sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi
kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah
penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup
tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang
aslinya.
Pembahasan.
A. Pengertian.
Fraktur basis
crania adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tengkorak yang
tebal. Fraktur ini seringkali disertai
dengan robekan pada durameter. Fraktur basis crania sering terjadi pada 2
lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan region occipital condylar.
Fraktur basis
crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa anterior dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania
merupakan yang paling serius terjadi
karena melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi
otorrhea cairan serebrospinal ( cerebrospinal fluid) dan rhinorrhea.
B. Anatomi.
Bagian
cranium yang membungkus otak , menutupi otak, labirin dan telinga tengah. Tabula interna dan tabula eksterna
dihubungkan oleh tulang kanselosa dan celah tulang rawan. Tulang-tulang yang
membentuk cranium ( calvaria ) pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh
sutura dan kartilago dengan kaku. Sutura coronaria memanjang melintasi sepertiga frontal atap cranium . sutura
sagitalis berada pada garis tengah yang memanjang ke belakang dari sutura
coronoria dan bercabang di occipital untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah
perhubungan os. Frontal, parietal, temporal dan sphenoidal disebut pterion, di
bawah pterion terdapat percabangan arteri meningeal media. Bagian dalam basis crania membentuk lantai
cavitas crania, yang dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan fossa
posterior.
C. Patofisiologi.
Trauma dapat
menyebabkan fraktur tulang tengorak yang diklasifikasikan menjadi:
·
Fraktur
sederhana : suatu fraktur linear pada
tulang tengkorak.
·
Fraktur
depresi apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang
tengkorak.
·
Fraktur
campuran bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini disebabkan
oleh laserasi pada fraktur atau suatu frakturbasis crania yang biasanya melalui
sinus-sinus.
Pada
dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis crania.
Biasanya disertai robekan durameter dan terjadi pada daerah – daerah tertentu
dari basis crania.
Fraktur basilar adalah fraktur linear meliputi dasar
pertengahan pada tulang tengkorak. Fraktur ini biasanya berhubungan dengan
dural. Sebagian besar fraktur basilar berlangsung pada 2 lokasi spesifik
seperti regio temporal dan regio kondilar oksipital.
Fraktur temporal dapat dibagi dalam 3 subtipe yaitu
longitudinal, transversal, dan campuran. Fraktur longitudinal adalah adalah
subtipe yang paling umum (70-90%) dan meliputi bagian skuamous pada tulang
temporal, inding superior pada canalis auditory eksterna dan tegmen timpani.
Fraktur dapat terjadi pada anterior atau posterior ke koklea dan kapsul
labirin, berakhir pada fossa cranial media dekat foramen spinosum atau pada sel
udara mastoid. Fraktur transversal (5-30%) berasal dari foramen magnum dan
keluar mengelilingi koklea dan labirin berakhir pada fossa cranial media.
Dinamakan fraktur campuran jika memiliki kedua komponen fraktur longitudinal
dan fraktur transversal.
Fraktur condylar oksipital biasanya diakibatkan oleh
trauma tumpul dengan kekuatan yang tinggi yang menekan axial, bagian sudut
lateral, atau berputar ke jaringan ikat kontinyu. Fraktur ini dapat dibagi
dalam tiga tipe dasar berdasarkan morfologi dan mekanisme trauma atau secara
alternatif dalam kestabilan dan displace fraktur tergantung dari ada tidaknya
kerusakan ligamen. Fraktur tipe I adalah trauma kompresi axial yang
menghasilkan fraktur comuniti pada oksipital condilar. Fraktur ini bersifat
stabil. Fraktur tipe II disebabkan oleh pukulan langsung dan meluas pada daerah
basioccipital, hl ini berhubungan dengan trauma yang menetap karena melindungi
ligamen alar dan membran tectorial. Fraktur tipe III secara potensial tidak
stabil dan berhubungan dengan suatu luka avulsion sesuai dengan putaran dan
sudut lateral.
D. Gambaran klinis.
Gambaran klinis dari fraktur basis
crania yaitu :
a. Hemotimpanum.
b. Ekimosis Periorbita.
c. Ekimosis Retroauricular
d. Kebocoran Cairan Serebrospinal dari
telinga dan hidung
e. Parese nervus cranialis ( nervus I,
II, III, IV, VII, dan VIII ) dapat terjadi.
f.
Hematoma,
hemoragi.
E. Pemeriksaan Penunjang.
a. Pemeriksaan Labolatorium : sebagai
tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemariksaan darah rutin,
dan pemberian tetanus toxoid.
b. Pemeriksaan Radiologi.
·
Foto
Rontgen.
·
CT
scan.
·
MRI
( magnetic resonance angiography).
F. Penanganan.
(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak,
misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan
sembelit.
(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang
telinga, jika perlu dilakukan tampon
steril (Consul ahli THT) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody
otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan
posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar Kasan
: 2000).
G. Komplikasi.
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien fraktur basis crania
adalah paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang – tulang pendengaran
apabila farktur basis crania disertai dengan rhinorrhea.
H. Prognosis.
Walaupun fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi
untuk cedera nervus cranialis, pembuluh darah dan cedera langsung pada otak,
sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak – anak dan
tidak disertai dengan hematom epidural.
Konsep Asuhan Keperawatan.
1. Pengkajian.
a. Pengkajian subyektif.
Ø
Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama,
umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan
darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
Ø
Riwayat kesehatan.
Tingkat
kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah
simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada
saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
Ø
A ( airway ) pembersihan jalan nafas,
pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera.
B
( breathing )
penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri.
C
( circulation )
penilaian kemungkinan kehilangan darah, secara rutin tekanan darah
pulsasi nadi, pemasangan IV line.
D ( dysfunction of CNS
/ kelainan fungsi tubuh CNS )
penilaian
GCS secara rutin.
E ( exposure ) identifikasi seluruh
cedera.
b.
Pengkajian Objektif.
Aktifitas
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : .Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia,
ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastik.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan
tekanan darah atau normal (hipertensi).
Perubahan
frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau
kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda
: Cemas, mudah tersinggung, delirium,
agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontinentia
kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami
perubahan selera.
Tanda : :Muntah (mungkin proyektil).
Gangguan
menelan (batuk, air liur keluar disfagia)
Neurosensori
Gejala : Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang,
fotofobia.
Gangguan
pengecapan dan juga penciuman.
Tanda ;
Perubahan kesadaran sampai koma.
Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti.
Kehilangan
penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah
tidak simetri.
Genggaman
lemah, tidak seimbang.
Refleks
tendon dalam tidak ada atau lemah.
Apraksia,
hemiparise, quedreplegia.
Postur
(dekortikasi, deserebrasi), kejang.
Sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
Kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala
dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak
bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola
napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor,
tersedak.
Ronki, mengi positif (kemungkinan
karena aspirasi).
Keamanan
Gejala
: Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :
Fraktur/dislokasi.
Gangguan penglihatan
Kulit
laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar
telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).
Gangguan
kognitif.
Gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis.
Demam,
gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia
motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria,
anomia.
Pemenuhan
Pembelajaran
Gejala :
penggunaan alkohol/obnat lain.
Pertimbangan
Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan
pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja,
perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan
penempatan fasilitas lainnya di rumah.
2. Diagnosa Keperawatan.
1.
Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak, kerusakan neorovaskular. .
2. perubahan
perfusi jaringan cerebral berhubungan
dengan peningkatan TIK.
3. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis
pada pasien.
3. Intervensi Keperawatan.
Dx. 1. Tidak
efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak, kerusakan neorovaskular. .
Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas
sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien
Intervensi :
a. Pantau
frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan pernapasan.
R/ : Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi
/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanis.
b. Angkat
kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ : Untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan
napas.
c. Kolaborasi
:
-
Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri
R/ : Menentukan
kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Dx. 2.
perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan peningkatan TIK.
Tujuan
: mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sesnsorik.
Kriteria
: Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Intervensi
:
a. Tentukan
faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan
koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
R/
: menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis atau
kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan bahwa
pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK dan atau
pembedahan
b. Pantau/catat
status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya
Skala Coms Glascow)
R/
: Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
c. Pantau
TD
R/ : Normalnya,
autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik.
Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakakan vaskularisasi serebral
lokal atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh
penurunan tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK,jika
diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga
mengakibatkan kerusakan/iskemia serebral.
Kolaborasi
:
d. Berikan
oksigen tambahan sesuai indikasi.
R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Dx.
3. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang sedang dihadapi pasien.
Tujuan : keluarga dapat mengekspresikan perasaan
dengan bebas dan tepat serta mampu mengidentifikasi sumber-sumber internal dan
eksternal untuk menghadapi situasi.
Intervensi :
a.
Anjurkan keluarga untuk mengemukakan
hal-hal yang menjadi perhatiannya.
R/ pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka
dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping terhadap realitas.
b.
Kaji kekuatan yang dimiliki keluarga
mengenai masalah pendanaan.
R/ mungkin memerlukan bantuan untuk memfokuskan
kekuatan agar menjadi efektif.
Daftar Pustaka.
1.
Doenges
E. Marilynn (1999), RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN, Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran
(EGC), Jakarta
2.
Brunner
& Suddarth (2001), Buku Ajar KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH, Edisi 8
Volume 3, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
3.
GALLO
& HUDAK, KEPERAWATAN KRITIS Pendekatan Holistik, Volume II Penerbit
Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.
4.
Price
A. Sylvia & Wilson M. Lorraine (1995), PATOFISIOLOGI Konsep Klinis
Proses Penyakit Edisi 4 Buku II Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.